Jakarta, Insertlive -
Pola asuh orang tua punya peran besar dalam membentuk cara anak berpikir, bersikap, dan memandang dirinya sendiri. Tanpa disadari, kebiasaan kecil yang dilakukan sehari-hari di rumah bisa meninggalkan dampak jangka panjang pada kondisi psikologis anak, baik secara positif maupun sebaliknya.
Tak melulu soal cara mendidik yang keras atau lembut, sikap orang tua dalam merespons emosi, memberi batasan, hingga berkomunikasi juga ikut memengaruhi tumbuh kembang mental anak. Karena itu, penting bagi orang tua untuk lebih peka terhadap pola pengasuhan yang diterapkan. Berikut 9 sikap parenting yang ternyata memiliki pengaruh besar terhadap psikologi anak.
1. Tidak Memberi Contoh yang Baik
Anak belajar lebih banyak dari apa yang dilihat daripada apa yang didengar. Ketika orang tua sering marah, berbohong, atau tidak konsisten antara ucapan dan tindakan, anak akan meniru pola tersebut.
Keteladanan yang kurang baik dapat membingungkan anak tentang nilai dan moral. Dalam jangka panjang, anak bisa kesulitan membangun karakter dan kebiasaan positif karena tidak memiliki contoh yang jelas di rumah.
2. Pola Asuh Terlalu Keras
Sikap disiplin memang penting, tetapi pola asuh yang terlalu keras, penuh bentakan, ancaman, atau hukuman fisik dapat berdampak negatif pada kondisi mental anak. Anak bisa patuh karena takut, bukan karena memahami nilai yang diajarkan.
Dalam jangka panjang, anak berisiko mengalami kecemasan, rasa takut berlebihan, hingga masalah dalam mengontrol emosi. Beberapa anak juga meniru pola agresif tersebut dalam interaksi sosialnya.
3. Kurang atau Jarang Memberi Apresiasi
Beberapa orang tua mungkin jarang memberikan pujian atau penghargaan kepada anak karena khawatir anaknya akan menggampangkan suatu hal atau menjadi sombong. Kesalahan parenting ini kerap kali diabaikan. Namun, kurangnya apresiasi juga dapat membuat anak merasa tidak dihargai dan kurang percaya diri.
Fokus pada kesalahan tanpa mengapresiasi usaha anak dapat membuat mereka merasa tidak dihargai. Padahal, pengakuan kecil atas usaha dan proses sangat penting bagi perkembangan mental anak. Anak yang jarang diapresiasi bisa tumbuh dengan rasa tidak percaya diri dan merasa usahanya tidak pernah cukup. Mereka juga bisa kehilangan motivasi untuk mencoba hal baru karena takut gagal.
4. Terlalu Mengontrol (Overcontrolling)
Orang tua yang terlalu mengatur setiap aspek kehidupan anak, mulai dari pilihan teman, hobi, hingga cara berpikir, sering kali bermaksud melindungi. Namun, tanpa disadari, sikap ini bisa membuat anak merasa tidak dipercaya dan kehilangan ruang untuk berkembang secara mandiri.
Dalam jangka panjang, anak yang tumbuh dengan kontrol berlebihan cenderung kurang percaya diri, takut mengambil keputusan, dan selalu mencari validasi orang lain. Mereka bisa tumbuh menjadi pribadi yang ragu pada kemampuannya sendiri karena tidak terbiasa diberi kepercayaan.
5. Kurang Memberi Perhatian Emosional
Memenuhi kebutuhan fisik anak saja tidak cukup. Anak juga membutuhkan perhatian emosional, seperti didengarkan, dipeluk, dan divalidasi perasaannya. Ketika orang tua jarang hadir secara emosional, anak bisa merasa tidak penting atau diabaikan.
Dampaknya, anak berpotensi mengalami kesulitan dalam mengenali dan mengelola emosinya sendiri. Saat dewasa, mereka bisa tumbuh menjadi pribadi yang tertutup, sulit mengekspresikan perasaan, atau justru mencari perhatian secara berlebihan dari lingkungan sekitar.
6. Membandingkan Anak dengan Orang Lain
Orang tua yang membandingkan anak dengan saudara, teman, atau anak lain sering dianggap sebagai cara memotivasi. Padahal, kebiasaan ini justru bisa melukai harga diri anak dan membuatnya merasa tidak pernah cukup baik.
Anak yang sering dibandingkan cenderung tumbuh dengan perasaan minder dan tekanan untuk selalu memenuhi ekspektasi. Mereka juga bisa mengembangkan rasa iri, cemas berlebihan, atau perfeksionisme yang tidak sehat.
7. Terlalu Memanjakan Anak
Memberi kasih sayang bukan berarti selalu menuruti keinginan anak. Pola asuh yang terlalu memanjakan dapat membuat anak kesulitan memahami batasan dan tanggung jawab.
Anak yang terbiasa dimanjakan cenderung sulit menghadapi frustrasi, kurang mandiri, dan mudah menyerah saat menghadapi masalah. Mereka juga bisa tumbuh dengan ekspektasi bahwa dunia akan selalu menyesuaikan diri dengan keinginannya.
8. Tidak Konsisten dalam Aturan
Aturan yang berubah-ubah membuat anak bingung tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Hari ini dilarang, besok dibolehkan, lalu dimarahi lagi di kemudian hari.
Ketidakkonsistenan ini bisa membuat anak merasa tidak aman dan sulit memahami konsekuensi. Secara psikologis, anak menjadi ragu terhadap otoritas orang tua dan berpotensi menguji batas secara terus-menerus.
9. Mengabaikan Pendapat Anak
Menganggap anak terlalu kecil untuk punya pendapat bisa membuat mereka merasa suaranya tidak penting. Padahal, memberi ruang bagi anak untuk berbicara membantu mereka belajar berpikir kritis dan percaya diri.
Anak yang sering diabaikan pendapatnya berisiko tumbuh menjadi pribadi yang pasif, sulit menyampaikan kebutuhan, atau takut mengungkapkan perasaan. Memberi kesempatan anak berbicara bukan berarti selalu menuruti, tetapi menghargai keberadaannya
Pada akhirnya, setiap orang tua tentu ingin memberikan yang terbaik bagi anaknya. Namun, dalam proses tumbuh bersama, wajar jika ada sikap atau kebiasaan yang tanpa sadar terbentuk dan ternyata berdampak pada kondisi psikologis anak. Yang terpenting bukan soal menyalahkan diri sendiri, melainkan berani menyadari, memperbaiki, dan terus belajar.
(sgc/and)

3 hours ago
4
















































