Oleh: Fadly Kasim
Seorang dosen menuliskan kegelisahaannya di WhatsApp group terkait “Mahasiswi Nekat Terjun ke Laut Gegara Dosen Pembimbing Tak Kunjung ACC Skripsi”. Mahasiswa itu bernama Maryana yang nekat melompat dari Jembatan Dompak, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau, pada Rabu (12/3/2025) sekitar pukul 14.50 WIB. Insiden mahasiswi yang nekat terjun ke laut di Tanjungpinang akibat diduga stres dengan skripsinya.
Tragedi di Tanjungpinang adalah alarm bagi kita semua. Seorang mahasiswi nekat mengakhiri hidupnya, diduga kuat karena tekanan skripsi yang tak kunjung usai. Ini bukan sekadar kisah tragis, tetapi refleksi dari realitas pahit yang dihadapi banyak mahasiswa. Skripsi, yang seharusnya menjadi puncak pencapaian akademik, telah berubah menjadi momok yang menakutkan, bahkan mematikan.
“Skripsi membunuh,” mungkin terdengar hiperbolis, tetapi bagi sebagian mahasiswa, ungkapan ini adalah kenyataan. Beban akademik yang berat, revisi yang tak berkesudahan, tenggat waktu yang mencekik, dan ketidakpastian masa depan, semua berpadu menciptakan tekanan psikologis yang luar biasa. Mahasiswa bukan hanya dituntut untuk menghasilkan karya ilmiah yang sempurna, tetapi juga bersaing mendapatkan IPK tinggi dan peluang karir yang menjanjikan. Beban ini semakin berat bagi mereka yang merasa tertinggal, yang berjuang dengan keterlambatan kelulusan.
Data penelitian pun tak bisa berbohong. Stres akademik merusak kesehatan mental dan fisik mahasiswa, memengaruhi motivasi dan kualitas belajar mereka. Perubahan psikologis dan fisiologis menjadi bukti nyata betapa dalamnya luka yang ditimbulkan oleh tekanan akademik.
Namun, siapa yang bertanggung jawab? Apakah hanya mahasiswanya? Tentu tidak. Ini adalah masalah sistemik yang membutuhkan perubahan kolektif. Institusi pendidikan harus menciptakan lingkungan belajar yang lebih suportif, dengan layanan konseling yang mudah diakses dan sistem bimbingan yang efektif. Dosen perlu lebih peka terhadap kondisi mahasiswa, memberikan dukungan yang konstruktif, bukan sekadar tuntutan tanpa empati.
Mahasiswa pun perlu dibekali keterampilan manajemen stres dan keberanian mencari bantuan. Orang tua dan masyarakat juga harus terlibat, menciptakan lingkungan yang mendukung kesehatan mental mahasiswa. Kita perlu menghilangkan stigma negatif terkait masalah kesehatan mental dan membangun kesadaran bahwa mencari bantuan bukanlah kelemahan.
Tragedi di Tanjungpinang harus menjadi titik balik. Kita tidak bisa lagi mengabaikan jeritan mahasiswa. Skripsi seharusnya menjadi proses pembelajaran yang memberdayakan, bukan beban yang mematikan. Mari kita bersama-sama menciptakan lingkungan akademik yang manusiawi, di mana setiap mahasiswa memiliki kesempatan untuk berkembang tanpa harus mengorbankan nyawa mereka. “Skripsi membunuh” seharusnya tidak pernah menjadi kenyataan.
(Penulis adalah Dosen Fakultas Ilmu Komputer Universitas Muslim Indonesia/Kandidat Doktor Pada Program Studi Pendidikan Vokasi Keteknikan Pascasarjana Universitas Negeri Makassar)