HANYA 25 menit durasi penampilan Rizki Rama-dhani dkk di festival bergengsi di Jerman itu, tapi dampaknya mengulur panjang. Baik di belakang panggung maupun ketika mereka menginjakkan kaki kembali di kampung halaman di Aceh.
”Animo penonton di sana sangat luar biasa. Setelah perform, kami sengaja nggak ganti pakaian. Misi kami berhasil karena banyak bule nanyain kami dari daerah mana,” beber Madon, sapaan akrab Rizki Ramadhani, lalu tertawa
Killa The Phia, band metalcore yang digawangi Madon sebagai vokalis bersama Aan (gitar), Reza (gitar), dan Aloel (drum), membetot perhatian di Wacken Open Air Festival yang dihelat di Desa Wacken, Schleswig-Holstein, Jerman, tak cuma karena musik yang mereka mainkan. Tapi, juga unsur budaya Aceh yang turut mereka angkut ke panggung: dari alat musik rapai serta serune kalee sampai pakaian adat Aceh Gayo.
Sepulang ke kampung halaman, sambutannya lebih meriah lagi. Syarakilla, sebutan penggemar band yang telah meluncurkan satu album itu, sampai membuatkan acara khusus.
Lebih luas dari itu, Madon merasa jenis musik yang dimainkan bersama kawan-kawannya jadi lebih bisa diterima di kampung halaman mereka yang menerapkan syariat Islam.
”Alhamdulillah, teman-teman di kantor mulai memandang musik metal itu tidak segahar genrenya. Karena bagi saya sekeras apa pun genre musik kita, sama sekali tidak ada kaitannya dengan hal-hal negatif,” jelas Madon.
Madon pada Senin sampai Jumat dengan Madon di akhir pekan seperti dua sosok berbeda. Di weekday, dia melayani masyarakat sebagai staf protokoler pada bidang tata usaha Kejaksaan Tinggi Aceh. Giliran weekend tiba, dia melabuhkan hobi dan hasrat bermusiknya bersama band pelantun You See itu.
Dua dunia yang seolah kontras. Tapi, Madon sudah menjalaninya selama tiga tahun terakhir tanpa harus mengorbankan salah satu.
”Waktu saya lolos CPNS (calon pegawai negeri sipil) 2021, saya sudah berkomitmen kepada diri sendiri untuk bekerja sebagai aparatur sipil negara (ASN) sebaik mungkin dan tetap bermusik,” katanya saat dihubungi dari Jakarta akhir Oktober lalu (27/10)
Awalnya memang tak mudah. Tapi, seiring berjalannya waktu, bapak dua anak itu mulai terbiasa. Selepas mengenakan seragam kerja seharian, malamnya Madon menjalani sesi latihan atau jamming bersama band yang terbentuk pada 2008 itu.
Dia juga merasa tidak pernah dipersulit instansinya. Malah para atasannya di kantor mendukung penuh. Akun Instagram resmi Kejaksaan Agung juga turut membagikan video penampilan Killa The Phia di Wacken.
Untuk pengaturan waktu, dia dan para personel lain juga tak menemui kendala. Kebetulan mayoritas penggawa Killa The Phia adalah ASN
”Untuk bagi waktu, kami selalu jamming malam. Sedangkan kalau perform di luar kota, selama ini kami menjalaninya di weekend,” jelas dia.
Tiket Killa The Phia ke Wacken diraih lewat proses panjang. Mereka mengikuti seleksi lewat program Metal Battle yang tersebar di 30 negara.
”Penyelenggaraannya di Bandung waktu itu. Dari 200 peserta, disaring jadi 50 hingga 10. Alhamdulillah, kami jadi juara 1,” jelasnya.
Killa The Phia mengikuti jejak Taring, Burgerkill, dan Jasad yang juga pernah mengibarkan nama Indonesia di festival metal tahunan yang dihelat sejak 1989 tersebut. Bagi Madon, itu buah yang dipetik dari kegigihan menjaga eksistensi band di daerah yang punya aturan ketat terkait pertunjukan musik.
Tak sekali dua kali dia mendengar cemooh tentang musik metal yang mereka mainkan. Apalagi, para personel juga lulusan pesantren.
Namun, cercaan tersebut tidak pernah mengecilkan semangat Madon dkk. Sulit tampil di kawasan sendiri, band pelantun Revenge of the Hypocrite itu mematangkan jam terbang dengan banyak bermain di luar daerah.
”Karena di sini, penyelenggara harus mendapat izin dari MPU (Majelis Permusyawaratan Ulama),” ungkap Madon.
Itu pula yang meyakinkannya untuk tetap menjadikan musik sebagai hobi, bukan profesi.
”Kami di Aceh agak sulit kalau hanya menggantungkan peng-hasilan dari bermusik. Makanya, rata-rata musisi di Aceh punya pekerjaan atau bisnis masing-masing,” katanya.
Tapi, penampilan membanggakan mereka di Wacken perlahan membawa dampak.
”Setelah kami dari Jerman itu kan viral banget, jadi dorongan besar juga buat perubahan di kalangan masyarakat,” tuturnya. (*)