Gelora Chepy Rapsodi Menyalakan Cinta Jazz

1 day ago 5

Jazz, laiknya nada-nada bebop yang liar namun penuh keseimbangan, ritme gitarnya berani, merdeka, dan melawan arus. Semangatnya beresonansi menciptakan harmoni tersendiri. Chepy Soekardi bercerita ketertarikannya pada musik jazz dan menggelorakan genre musik ini di tanah kelahirannya.

Malam itu, di panggung musik yang sederhana, ada seutas senyum tulus dari seorang pria berpenampilan bersahaja, mengenakan oblong hitam, jin panjang, sepatu kasual, dan berkacamata. Dialah Chepy Soekardi, anak asli Batam yang mengembara di dunia musik dengan semangat seorang bohemian. Meski perawakannya tenang, ia me-nyimpan gelora besar untuk menyalakan cinta jazz di tanah kelahiran.

Chepy tak sekadar musisi. Ia adalah manusia yang melihat jazz bukan hanya sebagai genre musik, melainkan jalan panjang penuh pelajaran bagi diri dan orang lain.

”Setiap momen atau event jazz di Batam adalah pemantik bagi generasi muda,” katanya saat kami bertemu dalam sebuah event musik di Batam, pada 3 November lalu.

Di tengah perbincangan yang mengalir layaknya irama swing yang dimainkan dengan khusyuk, Chepy menegaskan bahwa jazz adalah ruang tanpa batas, terbuka bagi siapa pun yang mau mendalami. Seperti jazz yang lahir dari sebuah perjuangan dan gairah untuk bebas, ia merasakan keterikatan pada semangat itu.

Perjalanan jazz sejatinya memang penuh liku. Lahir dari rahim pergulatan kaum Afro-Amerika awal abad ke-20, musik ini tumbuh subur di tanah yang tandus. Dari perpaduan blues, gospel, ragtime, dan nyanyian perjuangan rakyat, muncul alunan nada yang tak cuma menyuarakan penderitaan, tapi juga merayakan kebebasan. Louis Armstrong, dengan trompetnya yang menggelegar, menjadi pionir, pembuka jalan bagi ekspresi musikal yang tak terbatas.

”Jazz telah menjadi bagian dari hidup saya sejak lama,” ujarnya, mengenang perjalanannya dari tahun 1997.

Sebenarnya, Chepy pertama kali jatuh hati pada musik rock. Akan tetapi, segalanya berubah ketika dia mengikuti salah satu workshop jazz di Bandung di 2000-an awal. Pameran itu memperkenalkannya pada nada-nada yang lebih bebas, seksi, menggoda, dan menantang.

Pulang ke Batam di 2003, lelaki yang berusia hampir empat dekade itu membawa semangat jazz bersamanya. Meski pada masa itu cuma ada sedikit panggung untuk genre ini, dia tak pernah menyerah.

Chepy (kiri), Andreas (tengah) bersama rekannya.
F. Arjuna/Batam Pos

Jazz memang memiliki sejarah panjang yang selalu menolak batasan kelas dan warna kulit. Seperti kata Duke Ellington, “It don’t mean a thing, if it ain’t got that swing.” Itu pula yang tampaknya dipahami benar oleh sahabat Chepy, yakni Andreas Marinello; musisi jazz asal Italia yang kini tinggal di Singapura.

Dia berbicara lewat saksofonnya dalam bahasa yang akrab bagi siapa saja. Andreas merupakan musisi yang memainkan jazz dengan lincah, seakan memanggil para penonton untuk masuk dalam dixieland.

”Jazz itu bukan musik orang kaya atau golongan tertentu. Jika ada yang masih menganggap jazz musik orang kaya, saya siap melepas dasi dan jas saya. Jazz adalah untuk semua orang,” kata dia.

Pernyataan Andreas itu mengingatkan pada irama protes yang pernah dibunyikan musisi-musisi jazz besar. Ambil contoh seperti Charles Mingus atau Miles Davis, yang berpendapat bahwa jazz adalah musik pemberontakan yang dimainkan dari hati yang bersifat bebas.
Andreas yang mencintai keberagaman budaya Indonesia, telah beberapa kali datang ke Batam atas unda-ngan Chepy. ”Batam adalah kota yang penuh dengan musisi berbakat,” katanya.

Kebebasan yang ia rasakan dalam jazz dianalogikan sebagai kemerdekaan untuk bepergian, bertemu musisi-musisi lokal, dan jamming bersama. Jazz adalah revolusi, sebuah ajakan untuk keluar dari belenggu batasan sambil merayakan perbedaan.
Meski begitu, mimpi Andreas melampaui panggung sementara. Ia ingin melihat Batam memiliki sekolah musik yang mampu mencetak lebih banyak musisi muda berbakat. Pendidikan adalah kunci untuk mengembangkan bakat yang selama ini mungkin tengah bersembunyi.

”Kita butuh lebih banyak dukungan, baik dari komunitas maupun pemerintah,” katanya.
Muhammad Gusrianto, seorang musisi jazz senior di Batam, memiliki pandangan serupa. Aliran musik ini bukan untuk golongan tertentu saja, tapi buat semua, termasuk kaum papa.

”Kita ingin membuat jazz ini diterima oleh semua kalangan,” ujarnya. Rian, sapaan akrabnya, berpendapat bahwa membumikan jazz berarti membuka ruang bagi siapa pun untuk menikmatinya, tanpa harus mengotak-ngotakkan.

Harapan itu rupanya disambut pula oleh Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Batam, Ardiwinata. Ia yakin, musik sebagai salah satu dari sub-sektor ekonomi kreatif, akan terus mendapat tempat di Bandar Dunia Madani.

”Pemerintah siap mendukung perkembangan musik di Batam,” ujarnya, seolah menyun-tikkan semangat baru bagi para musisi yang berjuang.

Ketika malam semakin larut, irama jazz berubah menjadi sesuatu yang menyerupai sebuah rapsodi, mengalir tanpa aturan. Ada privilese pada tiap nada, keindahan dalam improvisasi, dan semangat ketukan yang berderap.

Ini adalah sebuah perjalanan yang akan terus berlanjut, bersama Chepy, Andreas, dan para musisi lainnya, yang dengan sepenuh hati menyuarakan bahwa jazz, seperti kehidupan itu sendiri, adalah milik semua orang. (*)

Reporter: Arjuna

Read Entire Article
Makassar Info | Batam town | | |