batampos – Diskusi publik bertajuk “Mengawal Demokrasi dari Kepri” digelar di Sekretariat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Batam, bersamaan dengan peluncuran Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat Kepulauan Nusantara (LBH MKN).
Kegiatan ini dihadiri oleh berbagai pihak, termasuk organisasi masyarakat, NGO lingkungan, mahasiswa, masyarakat umum, dan sejumlah warga Pulau Rempang yang mengalami dampak konflik pembangunan.
Direktur LBH MKN, Nofita Putri Manik mengatakan, lahirnya lembaga bantuan hukum ini merupakan respons atas keresahan terhadap kondisi ketidakadilan yang kerap terjadi, khususnya di Kepri. Meski dilindungi oleh konstitusi, masyarakat sering kali mengalami intimidasi, provokasi, hingga kriminalisasi yang menyulitkan mereka dalam memperjuangkan hak-haknya.
Baca Juga: Fraksi Gerindra Usulkan Subsidi BOS dan Seragam Gratis di Perubahan Perda Pendidikan Dasar Batam
“Banyak yang tahu soal kondisi ini, tapi tidak semua orang terpanggil untuk terlibat di dalamnya,” ujar Nofita, Kamis (7/11) malam.
Dia harap, diskusi ini dapat menjadi pemicu gerakan masyarakat sipil di Kepri. Hal itu bertujuan untuk menciptakan koalisi yang solid untuk memperjuangkan keadilan bagi rakyat.
Diskusi publik tersebut juga menghadirkan beberapa pembicara, di antaranya Founder NGO Akar Bhumi Indonesia, Hendrik Hermawan; Founder Gerakan Bersama Rakyat (Gebrak), Uba Ingan Sigalingging; Ketua AJI Batam, Fiska Juanda; dan Sekretaris AJI Batam, Fathur Rohim.
Para narasumber menyatakan dukungan mereka untuk LBH MKN dalam upaya bersama memperjuangkan keadilan. Dukungan juga diiberikan Uba Ingan Sigalingging.
Baca Juga: Pencuri Hanya Butuh 2 Menit, Kapolresta Minta Warga Batam Pasang Kunci Ganda pada Motor
“Demokrasi di Indonesia saat ini masih berada pada tataran prosedural. Partisipasi publik yang bermakna belum sepenuhnya dirasakan oleh masyarakat,” ujar Uba.
Isu ketidakseimbangan fungsi kontrol terhadap kebijakan pemerintah juga turut disorot. Ketidakseimbangan antara koalisi dan oposisi di parlemen, baik di tingkat daerah maupun pusat, disebut turut memengaruhi demokrasi di Indonesia.
Di sisi lain, Hendrik Hermawan, menyoroti situasi pembangunan di Batam yang disebutnya mengabaikan analisis dampak lingkungan sehingga berdampak negatif bagi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan pembangunan. Menurutnya, pembangunan yang mengabaikan aturan hanya akan menjadikan masyarakat kecil sebagai korban.
“Kami menyebutnya dehumanisasi,” ujar Hendrik. (*)
Reporter: Arjuna