batampos– Kepri menghadapi tantangan besar dalam pelaksanaan Pilkada tahun ini. Minimnya literasi dan narasi yang terbangun selama proses Pilkada Provinsi Kepri 2024 semakin mengkhawatirkan dengan hanya digelarnya satu kali debat publik bagi calon pemimpin daerah. Padahal, di banyak daerah lainnya, debat dilakukan hingga tiga kali untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat menilai visi, misi, dan program kerja kandidat dengan mendalam. Hal ini menunjukkan rendahnya komitmen pihak penyelenggara pemilu dalam menyediakan ruang diskusi demokratis yang berkualitas dan aksesibilitas yang memadai bagi masyarakat Kepri.
Rikson Tampubolon analisis kebijakan publik ini menilai, keberpihakan penyelenggara, termasuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), patut dipertanyakan. Mereka seharusnya bertanggung jawab untuk memastikan proses demokrasi yang adil dan memberikan kesempatan yang sama bagi para calon untuk menyampaikan rekam jejak dan program kerja yang konkrit. Tanpa dukungan penuh dari penyelenggara, Pilkada rentan hanya menjadi ajang perebutan pengaruh, gimmick politik, dan adu kekuatan logistik para calon, alih-alih panggung bagi calon pemimpin yang memiliki visi kuat dan pemahaman mendalam tentang tantangan serta kebutuhan masyarakat.
Satu kali debat publik bukanlah sarana yang memadai untuk mengedukasi masyarakat tentang calon-calon yang mereka pilih. Ketiadaan penjelasan yang jelas tentang rekam jejak dan program kerja setiap calon, serta rendahnya ruang kritik dan analisis terhadap visi misi mereka, akan membatasi informasi yang diterima masyarakat. Padahal, masyarakat Kepri perlu mengenal calon pemimpin mereka melalui proses demokrasi yang benar-benar mendalam, transparan dan kritis. Di sini, tanggung jawab moral KPU dan Bawaslu untuk menyelenggarakan Pilkada yang edukatif dan representatif menjadi sangat penting agar masyarakat dapat memilih berdasarkan kualitas dan relevansi program kerja, bukan hanya popularitas atau kemampuan logistik kandidat.
BACA JUGA: Lima Pesan GAMKI Kepri untuk Natal dan Menyikapi Momentum Pemilu 2024
“Ya kalaupun Paslon menginginkan agar debat hanya dilaksanakan hanya satu kali. KPU dan Bawaslu harusnya berada pada posisi masyarakat yang ingin mendapatkan manfaat optimal dari optimalnya kuantitas penyelnggaraan forum debat. Pilkada ini bukan hanya soal kepentingan paslon, tetapi jauh lebih penting yaitu kepentingan masyarakat yang ingin mendapatkan pengenalan lebh mendalam tentang visi misi dan program paslon, tutur Rikson Tampubolon”, akademisi IIBN Batam dan alumni Pascasarjana Universitas Sumatera Utara ini.
Masyarakat seharusnya dapat memperoleh informasi yang utuh, transparan, dan kritis terkait setiap pasangan calon. Sayangnya, dengan hanya satu kali debat, ini menjadi sulit terwujud. Partisipasi dan kualitas demokrasi bukanlah sekadar formalitas. Saat Pilkada hanya berfokus pada aksi panggung tanpa substansi, semangat untuk membangun demokrasi yang beradab dan berkualitas tinggi jelas tergadaikan. Kondisi ini sungguh miris, mengingat harapan besar masyarakat untuk mendapatkan pemimpin yang mampu menghadirkan kebijakan yang merakyat, terukur, dan berpihak pada kepentingan publik.
Kami berharap agar ke depan, KPU dan Bawaslu dapat berbenah serta memperbaiki sistem penyelenggaraan debat publik yang jauh lebih transparan, akuntabel dan iinklusif yaitu melibatkan partisipasi publik dalam menentukan kebijakannya. Dengan memberikan ruang yang cukup bagi calon pemimpin untuk memaparkan visi-misi mereka, masyarakat akan memiliki kesempatan untuk memilih pemimpin dengan bijak, berbasis pemahaman yang utuh dan bukan sekadar popularitas, gimmick atau logistik paslon. (*)