batampos – Rudi Tarigan namanya. Warga Mega Legenda Batam Centre ini pekerjaan sehari-harinya adalah bertani. Meski hanya petani di lahan yang tak seberapa luas ia tanami aneka tanaman sayuran yang selanjutnya ia pasarkan di sejumlah pasar tradisional di Batam, tak lantas membuat Rudi patah semangat dalam mencapai cita-citanya ingin menempuh pendidikan setinggi-tingginya.
Tepatnya hari Sabtu (9/11) lalu, impian yang diidam-idamkan Rudi, mampu ia gapai. Rudi berhasil menempuh pendidikan S2 pascasarjana-nya di bidang ilmu hukum dengan indeks prestasi kumulatif suma cumlaude yakni 3,94 pada wisuda XXI pascasarjana Universitas Batam.
Atas kegigihannya dalam menempuh pendidikan yang dijalaninya selama 6 tahun lamanya di kampus Uniba, Rudi saat ini gelar akademiknya tak hanya sebatas SH saja, namun sudah bertambah lagi menjadi SH,MH.
Baca Juga: Petani Batam Keluhkan Pupuk Subsidi Sulit Didapat dan Lahan yang Kian Menipis
Bagi Rudi, tak mudah memang untuk mewujudkan impiannya menyandang gelar Magister Hukum. Dibutuhkan perjuangan yang panjang dan keras, serta komitmen yang kuat, dan tentunya biaya yang tak sedikit. Belum lagi cara membagi waktu antara pekerjaan dalam bertani untuk mencukupi kebutuhan istri dan keempat anaknya, serta kegiatan perkuliahannya tiap hari.
“Semua kerja keras ini membuahkan hasil berkat dukungan istri dan anak saya, serta tentunya Tuhan yang maha esa, hingga saya mampu menyandang gelar Magister Hukum,” ujarnya.
Pada kelulusannya untuk program magister hukum yang ia tempuh, Rudi pada tesis yang ia buat, sengaja mengangkat soal status lahan pertanian di Batam yang notabene Batam bukanlah daerah peruntukan pertanian, melainkan industri dan pariwisata saja.
Tesis yang dibuat bapak empat anak ini berjudul peran pemerintah dalam mengalokasikan lahan bagi petani untuk memberikan kepastian hukum. Studi penelitiannya, dilakukan Rudi di Kota Batam.
Ia tak asal pilih topik mengangkat soal petani pada tesis-nya. Alasannya selain ia berprofesi sebagai petani, Rudi mengaku ingin mengangkat petani di Batam, agar keberadaannya diakui pemerintah di Batam, dan mendapatkan dukungan pemerintah daerah.
“Sebab, keberadaan petani di Batam, terbukti mampu menekan inflasi di Batam, mampu membantu menyediakan kebutuhan masyarakat Batam akan pangan seperti sayuran, serta buah-buahan,” ujarnya.
Menurut data dari Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kota Batam yang didapatnya, inflasi Kota Batam pada tahun 2022 bisa ditekan di angka 25 % dari hasil holtikultura pertanian Kota Batam.
“Data dari BPS tahun 2023 jumlah petani di Batam ini tak sedikit loh. Terdapat sekitar 18 ribu petani yang tersebar di 12 kecamatan di Batam,” terangnya.
Yang Rudi sayangkan, lahan pertanian di Batam sendiri, bisa dikatakan sangat minim, jauh dari memadai. Sebab Batam sendiri bukanlah merupakan daerah pertanian, melainkan dibentuk untuk daerah industri serta pariwisata saja.
Karena sektor pertanian di Batam kendala utamanya adalah ketersediaan lahan serta status lahan pertaniannya, Rudi berharap pemerintah nantinya mampu memberikan solusi terhadap keterbatasan lahan pertanian di Batam.
Merujuk kepada Keppres Nomor 41 Otorita Batam tahun 1973, Batam ini dikhususkan untuk kawasan industri. Tidak ada peruntukan lahan pertanian. Seiring berjalannya waktu dan pertumbuhan jumlah penduduk di Batam sangat pesat, maka sektor pertanian pun berkembang pesat juga.
“Kendala yang sering petani hadapi seperti saya ini di Batam adalah tak adanya kepastian hukum terhadap lahan yang petani garap. Misalnya petani sudah menggarap sebidang tanah untuk dipakai petani bertanam, mendadak investor atau BP Batam main menggusur lahan tersebut dengan alasan untuk dipakai pembangunan,” ujarnya.
Atas hal itulah, lanjut Rudi, petani selalu dirugikan, dikorbankan demi untuk alasan investasi atau pembangunan. “Saya berharap pemerintah nantinya bisa merevisi Keppres Nomor 41 Tahun 1973. Kalau tak bisa, minimal pemerintah daerah membentuk perda Kota Batam khusus mengatur keberadaan petani serta masalah keterbatasan lahan pertanian dan status lahan pertanian. Sehingga keberadaan petani di Batam tak terabaikan, tak menjadi tumbal pembangunan,” tegasnya. (*)
Reporter: Galih Adi Saputra